Pages

Saturday, February 9, 2013

Menyelamatkan Generasi Muda Bangsa

Belum genap satu bulan pasca pergantian tahun yang dipenuhi dengan hingar bingar optimisme dan doa. Muncul sebuah kasus yang cukup mengusik kita. Tertangkapnya Raffi Ahmad pada tanggal 27 Januari 2013 lalu atas kasus penyalahgunaan narkoba. Hal ini tentu menambah kembali daftar nama pemuda Indonesia yang terjerat barang haram tersebut. Padahal di pundak para pemuda inilah (termasuk saya) optimisme dan doa itu disandarkan, terwujud atau terkubur. 

Ada sebuah ungkapan bahwa bila ingin menghancurkan sebuah bangsa, maka rusaklah generasi mudanya, karena pada generasi muda inilah masa depan bangsa tersebut ditentukan. Salah satu cara ampuh untuk merusak generasi muda adalah dengan menjerumuskannya ke dalam jerat narkoba. Artinya, narkoba menjadi masalah serius yang harus dihadapi oleh semua bangsa di dunia ini, tanpa terkecuali bagi Indonesia. Menjauhkan generasi mudanya dari narkoba menjadi pekerjaan rumah yang harus diusahakan terus menerus tanpa kenal lelah. Tidak hanya bagi pemerintahan, tapi bagi semua elemen masyarakat yang peduli akan masa depan bangsanya. 

Ada banyak pendekatan yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah penyalahgunaan narkoba. Pada tulisan ini akan dijelaskan dua pendekatan pencegahan, antara lain pendekatan kultural dan pendekatan struktural. 

Pendekatan kultural menekankan pada faktor internal seseorang. Budaya sebagai state of mind yang ditanamkan dengan baik tentu memberikan turunan yang baik pula bagi pola atau jalan berpikir (the way of thinking) seseorang. Dengan begitu maka seseorang akan secara penuh sadar dalam mempertimbangkan tindakan yang diambilnya beserta segala konsekuensi yang menyertainya. Pendekatan kultural ini dapat dilakukan sejak seseorang masih pada tingkatan kanak-kanak. Bentuk upaya pendekatan kultural ini bisa melalui pendidikan baik dalam lingkungan formal maupun non-formal. Lebih diutamakan lagi pendidikan dalam lingkungan keluarga terdekat. Jika diibaraktkan sebagai sebuah bangunan, pendekatan kultural inilah yang menjadikan kokoh tidaknya pondasi bangunan tersebut. Dia menjadi dasar yang menentukan kekuatan seseorang di masa mendatang untuk menangkis godaan narkoba. 

Pada pendekatan struktural, faktor-faktor institusional lebih ditekankan. Pendekatan ini dilakukan dengan mengkombinasi beberapa sistem antara lain: sistem kebijakan dan sistem hukum. Jika begitu tentu saja aktor-aktor utama yang berperan penting disini adalah institusi-institusi negara. 

Sebagai contoh, kemunculan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Merupakan salah satu produk kebijakan yang lumayan membawa angin segar bagi pengendalian peredaran narkoba di Indonesia walaupun pasca penangkapan Raffi Ahmad kemarin diketahui bahwa terdapat zat-zat baru yang ternyata belum dikategorikan sebagai barang terlarang dalam undang-undang narkotika tersebut. Tentu tidak ada yang akan mengira hal ini akan terjadi akan tetapi satu pelajaran yang dapat dipetik bahwa pembaruan kebijakan senantiasa harus dilakukan seiring dengan berkembangnya ‘teknologi’ obat-obatan terlarang. 

Pada sistem hukum, saat ini dapat dikatakan bahwa instrumen hukum yang mengatur tentang penyalahgunaan narkoba sudah begitu siap dan matang. Namun dalam penegakannya di lapangan dirasa belum seideal yang diharapkan. Ini ditandai dengan belum konsistennya ganjaran yang diberikan kepada para pengedar (bandar) narkoba. Seperti yang kita saksikan beberapa bulan silam saat seorang bandar narkoba jaringan internasional mendapatkan grasi dari presiden. Untuk itu perlu adanya perbaikan sistem hukum sebagai upaya pengendalian peredaran narkoba di Indonesia. 

Kejelasan, ketegasan, dan konsistensi nampaknya menjadi perhatian yang harus diutamakan demi menyelamatkan generasi muda bangsa ini dari jerat narkoba. Semoga. 

Pandega Wiratama, 31 Januari 2013

Wednesday, January 30, 2013

Optimalisasi Pelayanan Publik Daerah dengan Pendekatan ‘Wirausaha’

Kinerja pelayanan publik di daerah selalu menjadi bahan diskusi yang tak kunjung selesai di era otonomi daerah ini. Dilaporkan oleh Ombudsman RI bahwa keluhan masyarakat terkait kinerja pemda menduduki peringkat pertama dari beberapa keluhan lainnya yang dilaporkan masyarakat kepada Ombudsman. Sebut saja Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang menduduki peringkat 5 besar tentang pengaduan buruknya pelayanan publik dengan jumlah total aduan sebanyak 109 laporan di tahun 2011 (pikiran-rakyat.com diakses Oktober 2012). Ada banyak jenis keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terkait buruknya pelayanan publik pemda-pemda tersebut namun yang paling banyak disampaikan yakni masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang seharusnya diperoleh secara menyeluruh. Seperti, perizinan, pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), pengajuan surat izin mengemudi (SIM), dan proses penerbitan sertifikat tanah yang kerap ada pungutan liar (pungli) ataupun adanya praktik calo. 

Kasus Jawa Barat tersebut hanya sebagian kecil contoh buruknya pelayanan publik di daerah. Kemungkinan besar masih banyak lagi daerah dengan kualitas pelayanan publik yang sama atau bahkan lebih buruk lagi. Padahal tujuan dilaksanakannya otonomi daerah adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar. Kasus tersebut juga mengindikasikan bahwa profesionalitas dan kinerja para “pelayan” publik tersebut tidak optimal dan menyalahi aturan. Penyimpangan itu tentu saja melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Lebih tepatnya pada Pasal 34 yang mengatur perilaku pelaksana dalam pelayanan. Jika hal tersebut terus terjadi ditakutkan pemda-pemda di Indonesia akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang seyogyanya mereka layani dengan baik. Untuk itu perlu sebuah gagasan baru untuk mengubah sistem pelayanan publik di daerah. Salah satunya dengan peciptaan iklim wirausaha di sektor publik. 

Pendekatan Wirausaha 

Salah satu solusi yang banyak ditawarkan oleh para ahli pelayanan publik untuk mengatasi lemahnya kinerja pelayanan publik di daerah adalah konsep pelayanan publik entrepreneurial, yaitu pelayanan publik oleh pemerintah dengan jiwa wirausaha (entrepreneur). Hal ini sangat diperlukan karena desentralisasi, baik dalam konteks administratif maupun dalam konteks politik tidak akan bisa dijalankan secara efektif apabila aparatur pemerintahan daerah gagal mengembangkan kapasitasnya untuk mengelola proses pembangunan dalam konteks memberikan pelayanan kepada publik (Winarno, 2011). Osborne dan Plastrik menjelaskan konsep tersebut sebagai sebuah perubahan mendasar pada sistem pelayanan dan organisasi publik untuk menciptakan peningkatan yang besar dalam efektivitas, efisiensi, adaptibilitas, dan kapasitas untuk berinovasi. Diharapkan dari perubahan tersebut maka kualitas pelayanan publik menjadi lebih profesional. 

Elemen-elemen utama dari pelayanan publik entrepreneurial antara lain (Tjokrowinoto, 2001): 
(1). Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar; 
(2). Mampu melakukan terobosan (breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif; 
(3). Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik; 
(4). Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan menimbulkan resiko; 
(5). Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru; 
(6). Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi; 
(7). Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi. 

Strategi dan Implementasi 

Osborne, David, dan Plastrik (1992) dalam Winarno (2004) menjelaskan ada lima strategi yang bisa dilakukan di Indonesia untuk menerapkan konsep pelayanan publik bernuansa ‘wirausaha’ ini, antara lain: 

1. Strategi Inti (the core strategy). Strategi ini menerangkan tentang tujuan (the purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Tanpa tujuan atau justru dengan tujuan yang saling tumpang tindih, maka kinerja sebuah organisasi publik dapat melemah karena ketidakefektifan usaha dalam pencapaian tujuan. 

2. Strategi Konsekuensi (the consequences strategy). Menentukan insentif-insentif yang akan diberlakukan di dalam organisasi publik. Birokrasi dapat memberikan para pegawainya insentif yang kuat bagi mereka yang mengikuti peraturan serta mematuhinya.

3. Strategi Pelanggan (the customers strategy). Strategi ini memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Dengan strategi ini, masyarakat diposisikan sebagai pelanggan yang harus dilayani. Dengan begitu tanggung jawab para pelaksana pelayanan publik ditempatkan di masyarakat sebagai pelanggan dan berhak mendapatkan kepuasan (customer satisfaction).

4. Strategi Pengawasan (the control strategy). Dalam sistem birokrasi lama, proses pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang sehingga membuat proses pengambilan keputusan cenderung lamban. Dengan mendistribusikan pembuatan keputusan kepada pejabat-pejabat dan karyawan atau pegawai birokrasi di bawahnya karena hal ini akan mendorong timbulnya rasa tanggung jawab di kalangan para pegawai birokrasi. 

5. Strategi Budaya (the culture strategy). Berhubungan dengan budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para pegawai dalam memberikan pelayanan publik. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh 4 strategi sebelumnya yaitu: tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur pengambilan keputusan. 

Selain memunculkan inovasi-inovasi baru dalam sistem pelayanan publik, pemerintah perlu mengatur pula bentuk-bentuk inovasi yang telah ada dan telah dipraktekkan oleh dinas, badan atau instansi dalam peningkatan pelayanan publik. Kerjasama penyelenggaraan pelayanan publik dengan pihak lain (swasta) dalam pemberian pelayanan publik, pengakomodasian hak dan kewajiban dalam pelayanan juga dirasa perlu. Penetapan standar pelayanan dan maklumat pelayanan sebagai sistem kontrol bisa pula dilakukan untuk membentuk jalur birokrasi agar tetap pada tujuannya. Serta pentingnya dukungan sistem informasi untuk mempermudah akses publik dalam pelayanan dan peran serta masyarakat juga harus diadopsi ke dalam bentuk-bentuk inovasi dalam pelayanan publik tersebut. Terakhir, pemerintah daerah juga hendaknya mengadakan acara sosialisasi kepada seluruh pejabat tentang pengetahuan yang berkenaan dengan kewirausahaan sektor publik, sehingga diperoleh pandangan yang sama diantara pejabat dan memudahkan untuk melakukan tindakan aksi penerapan konsep-konsep ini. 

Beberapa inovasi berikut ini telah berhasil memberikan manfaat bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publiknya dengan cara:

(1). membuat kontrak pelayanan (Citizen Charter), 
(2). peningkatan mutu dan kualitas pelayanan melalui Sistem Manajemen Mutu Terpadu (Total Qualitiy Managemen), 
(3). penggunaan tehnologi dan informasi (E Government) serta 
(4). kemitraan dengan pihak di luar pemerintahan/swasta (Public-Private Patnership). 

Keempat inovasi tersebut dapat diadopsi oleh pemda-pemda yang masih menggunakan sistem pelayanan publik yang konvensional dan cenderung lamban. Penerapan keempat hal tersebut tentu tetap harus didukung oleh komitmen dari para pejabat untuk senantiasa memelihara iklim wirausaha di dalam organisasi publik. 

Kesimpulan 

Menumbuhkan iklim wirausaha dalam sektor publik memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Akan tetapi dengan keseriusan para pejabat publik dan pegawai pemerintahan dalam menelurkan inovasi baru bagi pelayanan publik, lompatan kesuksesan sebuah pemerintahan daerah akan dengan mudah diraih. Sudah banyak daerah yang membuktikan bahwa dengan cara melakukan percepatan birokrasi, kepuasan pelayanan publik masyarakat juga semakin meningkat. Amanah yang termaktub pada Pasal 4 UU No 5 Tahun 2009 juga menerangkan bahwa penyelenggaraan azas pelayanan publik berazaskan: kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiba, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktum kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Kesemua itu sejalan dengan prinsip yang dianut oleh pelayanan publik entrepreneurial. 

Refrensi: 

F. (2011). Pelayanan Publik Bergaya Wirausaha. Disampaikan pada “Leadership Series 2011” QB Leadership Center,F Cone - FX Plaza Lt.7 Jakarta, Rabu 23 Februari 2011. 

Osborne, David, dan Plastrik, (1992). Banishing Bureaucracy, New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. 

Winarno, B. (2004). Implementasi Konsep “Reinventing Govenment” dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah disampaikan dalam Seminar nasional dengan judul ‘Penataan Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” Jawa Timur, Surabaya, Rabu, 14 Januari 2004. 

Website: 

www.ombudsman.go.id diakses Oktober 2012 

www.pikiran-rakyat.com diakses Oktober 2012

Friday, January 11, 2013

Kalkulator Karbon

Salam Lestari!

Bingung berapa emisi karbon yang kalian sumbang untuk bumi ini?! Daripada bertanya-tanya coba saja cek fitur berikut!


 
Fitur ini disediakan oleh website resmi Dewan Nasional Perubahan Iklim. Kita bisa menghitung jejak karbon (emisi) yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari, misalnya pemakaian listrik, BBM, sampah, dan transportasi. Dengan fitur ini, kita tahu berapa karbon yang sudah kita sumbang ke atmosfir ini sehingga kita dapat evaluasi diri dan mulai menerapkan gaya hidup hijau untuk mengurangi kontribusi negatif kita kepada bumi.

Selain tahu jumlah emisi yang dihasilkan, kita juga bisa menghitung jumlah serapan emisi yang ada di sekitar lingkungan kita berdasarkan ukuran dan jumlah pohon yang ada di sekitar rumah atau kantor. Dengan begitu, kita bisa memperkirakan banyaknya pohon yang harus ditaman untuk mengurangi jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Tidak hanya itu, di website ini juga ada satu fitur tambahan menarik yaitu pendataan komitmen untuk mengurangi jumlah emisi yang kita hasilkan.


Tunggu apa lagi?! Hitung jejak karbonmu sekarang!

Saturday, December 29, 2012

Fakta Air

Fakta Air Bagi Manusia

Air merupakan salah satu elemen sangat penting bagi kehidupan manusia di bumi ini. Hampir sebagian tubuh manusia adalah air. Fakta-fakta berikut akan menggambarkan pentingnya air bagi kehidupan manusia:

22% tulang manusia adalah air
60% dari tubuh manusia adalah air
75% dari otak dan otot manusia adalah air
92% dari darah manusia adalah air 
Manusia bisa bertahan hidup 1 bulan tanpa makan, namun hanya akan bertahan 1 minggu tanpa minum air
 
Fakta-fakta di atas tampaknya cukup menggambarkan bagaimana air menjadi bagian mendasar dari keberlangsungan hidup manusia. Fakta tersebut belum termasuk pemanfaatan air oleh manusia dalam kegiatan sehari-hari misalnya saja mencuci, mandi, dan lainnya.

Fakta Air Dunia

Walaupun air menjadi hal prioritas bagi manusia, kenyataanya jumlah air yang bisa dikonsumsi (air tawar) di dunia ini sangatlah sedikit. Apakah benar? Fakta berikut akan menjelaskan hal tersebut:

97,5% air di dunia ini adalah air asin (air laut) dan hanya 2,5% air tawar
Dari 2,5% total air tawar tersebut ternyata harus dibagi lagi ke dalam beberapa bentuk dan lokasi sebagai berikut:
68,7% berupa glasier es
30,1% berupa air tanah (groundwater)
1,2% berupa air permukaan yang ternyata  tidak semuanya bisa dikonsumsi.
Poster berikut akan sangat jelas menggambarkan persentase jumlah air yang ada di dunia:

sumber: WWAP, 2006

Sayangnya, dari total 1,2% jumlah air permukaan di dunia tidak sepenuhnya bisa dikonsumsi manusia karena masalah pencemaran ataupun akses untuk mendapatkan air yang kurang karena masalah-masalah ekonomi dan geografis. Termasuk di negara kita, Indonesia.

Fakta Air Indonesia

Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan yang secara geografis pun terletak di daerah dengan iklim tropis dan memiliki curah hujan yang tinggi ternyata menyimpan potensi kekayaan air yang begitu banyak. Sebagai gambaran, fakta mencengangkan berikut dapat kita lihat dan coba bayangkan kayanya alam Indonesia ini atas berkah air yang ada:

Indonesia memiliki potensi air tawar sebesar 1.957 miliar miliar m3/tahun. Hampir 87% di antara potensi aliran air permukaan terkonsentrasi di Pulau Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Sisanya tersebar secara tidak merata di Jawa Madura, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Pulau Jawa yang memiliki luas 7% dari total luas daratan Indonesia memiliki 'hanya' 4,5% atau sekitar 1.600 m3/kapita/tahun dari total cadangan air tawar nasional.
(sumber: http://pdamtabanan.com/article/93426/fakta-air-di-indonesia-bag-1.html)

Betapa besar potensi air bersih yang dimiliki Indonesia. Akan tetapi mengapa masih banyak sekali terdengar bencana-bencana kekeringan yang melanda negeri ini?

Data menyebutkan bahwa pemerintahan kita hanya memiliki 7,1 juta sambungan air bersih yang hanya mampu melayani 35,5 juta jiwa. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat yang belum memiliki akses ke air bersih terpaksa menggantungkan kebutuhannya pada sumber air permukaan seperti empang dan air hujan yang tidak diolah dan tidak layak minum
(sumber: http://pdamtabanan.com/article/93426/fakta-air-di-indonesia-bag-1.html)

Indonesia dan Air Kemasan

Akan lebih menyedihkan lagi, apabila kita melihat fakta bahwa warga Indonesia merupakan salah satu konsumen besar bagi air-air kemasan. Padahal jumlah air yang ada di depan mata mereka begitu melimpah. Berikut faktanya:

Menurut Country Director Frost Sullivan Indonesia, Indonesia mengkonsumsi air minum kemasan sebanyak 15,7 miliar liter dan menjadi negara produsen air minum kemasan terbesar ketujuh di dunia. 

Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia menempati posisi kedua mengkonsumsi air kemasan dan terbesar ketiga dalam mengkonsumsi air kemasan per kapita.
(sumber: http://pdamtabanan.com/article/93426/fakta-air-di-indonesia-bag-1.html)


Untuk memberikan gambaran kembali tentang air minum kemasan yang pada kenyataanya merupakan pilihan yang tidak lestari (bagi dompet, bagi kesehatan, dan bagi lingkungan) dapat dilihat pada video ini:  

  

Mari kita ubah kebiasaan kita dari sekarang. Mulailah meninggalkan air kemasan botol dan beralih pada sumber-sumber air yang lebih lestari serta ikut serta menjaga kualitas sumber air tersebut. Sulit? Pastinya, karena sebuah perubahan tentu membutuhkan usaha. #SalamLestari!

Sunday, December 9, 2012

Sejarah Negosiasi Perubahan Iklim: 83 Detik


The History of Climate Change Negotiations in 83 seconds 
©Hak Cipta : Center for International Climate and Environmental Research - Oslo

Sejarah tentang negosiasi negara-negara di dunia untuk menghadapi perubahan iklim yang tampaknya masih belum menghasilkan win-win solution hingga saat ini.

Ayo! Dukung terus usaha untuk mengatasi masalah lingkungan yang berbasis keadilan dan kesetaraan!